Cerpen : "Jalan yang Lurus" - Hikmah Surat Al Fatihah
"Jalan yang Lurus"
Ahmad menarik napas panjang, menghela penat yang menempel sejak pagi. Taksi tuanya terparkir di bawah rintik hujan sore itu, menanti penumpang yang tak kunjung datang. Sudah seminggu ini penghasilannya nyaris tak cukup untuk membeli beras. Tabungannya menipis, dan mobilnya mulai sering mogok. Seolah-olah semua masalah datang serentak.
Di rumah, istrinya, Sari, menunggu bersama dua anak kecil mereka. Mereka selalu menyambut dengan senyum, walau Ahmad tahu, di balik senyum itu ada kekhawatiran yang dipendam.
Suatu malam, Ahmad pulang lebih awal karena taksinya kembali rusak. Ia menutup pintu perlahan, tak ingin membangunkan anak-anak yang tertidur. Di ruang tamu yang gelap dan sepi, ia duduk bersila. Air matanya menetes tanpa ia sadari.
“Ya Allah... aku lelah. Kenapa hidup terasa berat sekali?”
Ia melaksanakan shalat Isya, dan seperti biasa, mulutnya mengucapkan Al-Fatihah. Tapi malam itu berbeda. Ia membacanya pelan... dan untuk pertama kali, ia meresapi maknanya.
“Ihdinas siratal mustaqim...”
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
Tiba-tiba, kalimat itu menembus dadanya. Jalan yang lurus... jalan yang benar... Bukan jalan kaya, bukan jalan cepat, tapi jalan yang diberkahi. Ahmad terdiam cukup lama dalam sujudnya malam itu.
Keesokan harinya, Ahmad tetap membawa taksinya, walau kondisinya memprihatinkan. Ia memulai harinya dengan Al-Fatihah yang ia baca perlahan dan sungguh-sungguh. Setiap ayat menjadi bekal batin.
Siang itu, seorang pria paruh baya naik ke dalam taksinya. Dari dandanannya, terlihat ia orang berada. Pria itu hanya diam sepanjang perjalanan, tapi saat hendak turun, ia menatap Ahmad dan berkata, “Pak, maaf... mobil Bapak sudah berapa tahun?”
Ahmad tersenyum getir. “Lebih dari sepuluh tahun, Pak. Sudah banyak kenangannya.”
Pria itu mengangguk. “Kalau saya ingin bantu perbaiki mobil ini, boleh? Saya lihat Bapak sabar sekali menyetirnya. Ada aura yang berbeda.”
Ahmad terkejut. “Maksud Bapak...?”
“Anggap saja ini sedekah untuk orang yang sedang meniti jalan lurus,” jawab pria itu sebelum berlalu.
Beberapa minggu kemudian, Ahmad kembali mengemudi dengan mobil yang sudah diperbaiki. Ia mulai mendapat lebih banyak penumpang, bahkan dijadikan sopir langganan oleh pria dermawan itu. Namun, yang paling terasa bukan pada keuangan—melainkan ketenangan.
Kini, tiap kali ia membaca Al-Fatihah, bukan hanya mulutnya yang bergerak, tapi hatinya juga bicara. Ia paham bahwa “jalan lurus” bukan tentang bebas dari masalah, tapi tentang arah yang benar meskipun jalannya mendaki.
Dan dalam setiap kesulitan, ia menemukan satu pelita kecil yang menerangi langkahnya—sebuah surat pembuka yang selalu kembali membukakan hatinya.
Komentar
Posting Komentar